MAHDUM, MAHDUM (2025) PERLINDUNGAN HAK-HAK ISTRI PASCA PERCERAIAN DALAM PERKARA CERAI GUGAT PERSPEKTIF HAKIM PENGADILAN AGAMA SEMARANG KELAS IA. Undergraduate thesis, Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
![]() |
Text
Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah)_30502200027_fullpdf.pdf Download (1MB) |
![]() |
Text
Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah)_30502200027_pernyataan_publikasi.pdf Restricted to Registered users only Download (356kB) |
Abstract
Seringkali sebuah perkawinan harus putus di tengah jalan yaitu melalui sebuah perceraian. Hal ini terjadi dikarenakan berbagai tantangan dan cobaan dalam mencapai cita-cita yang diinginkan, yaitu membangun keluarga yang kokoh dan memiliki ketahanan keluarga yang kuat. Perceraian merupakan solusi terakhir dari adanya permasalahan rumah tangga yang disebabkan oleh adanya pertengkaran secara terus-menerus. Dalam Pasal 113 KHI disebutkan bahwa putusnya perkawinan disebabkan oleh tiga hal, yakni, Kematian, Perceraian dan atas putusan Pengadilan. Perceraian adalah putusnya sebuah ikatan perkawinan antara suami-istri, hal ini disandarkan dengan adanya putusan pengadilan. Sebuah perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 115 KHI. Hukum di Indonesia juga mengatur bahwa tidak semua permohonan atau gugatan perceraian yang diajukan ke pengadilan akan serta merta dikabulkan. Sebuah perceraian harus memenuhi syarat-syarat administratif dan alasan yang telah ditetapkan dalam KHI, dengan adanya ketentuan ini, diharapkan pasangan suami istri di Indonesia tidak dengan mudah mengajukan gugatan atau permohonan perceraian ke Pengadilan. Angka perceraian di Indonesia sangat tinggi, menurut data terdapat 483.350 perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama, baik cerai talak maupun cerai gugat. Sebagaimana perkawinan yang merupakan perbuatan hukum dan menimbulkan akibat hukum, perceraian juga menimbulkan akibat hukum. Diantara akibat hukum dari perceraian selain putusnya ikatan perkawinan juga adanya nafkah mut’ah, nafkah iddah, nafkah madliyah dan nafkah hadhanah yang di bebankan kepada mantan suami. Adapun yang dinamakan nafkah mut’ah merujuk pada Pasal 1 huruf h adalah Pemberian mantan suami kepada istri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya. Selain itu, nafkah iddah memiliki arti pemberian yang bersifat wajib dari mantan suami kepada mantan istrinya selama ia menjalani masa iddah. Sedangkan nafkah madliyah adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh mantan suami berkaitan dengan nafkah di masa yang telah berlalu. Kemudian kewajiban mantan suami setelah bercerai adalah memenuhi nafkah hadhanah bagi anak. Pengertian nafkah hadhanah sendiri adalah nafkah yang dipergunakan untuk mengasuh dan memelihara anak hingga ia dapat hidup sendiri. Kata Kunci; Perceraian, Nafkah, Cerai Gugat
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > BP Islam. Bahaism. Theosophy, etc |
Divisions: | Fakultas Agama Islam Fakultas Agama Islam > Syari'ah (Ahwal Syakhshiyah) |
Depositing User: | Pustakawan 1 UNISSULA |
Date Deposited: | 29 Apr 2025 03:29 |
URI: | http://repository.unissula.ac.id/id/eprint/39152 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |