ADHYTIA, YERIZA (2022) KEWENANGAN JAKSA DALAM MENGHENTIKAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA ATAS DASAR KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI IMPLEMENTASI PERATURAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2020. Masters thesis, Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
Text
20302000082_fullpdf.pdf Download (1MB) |
|
Text
publikasi.pdf Restricted to Registered users only Download (80kB) |
Abstract
Penghentian penuntutan secara yuridis diatur dalam Pasal 140 Ayat (2) huruf a KUHAP dengan mendasar pada ruang lingkup, tidak terdapat cukup bukti, bukan merupakan suatu tindak pidana dan perkara ditutup demi hukum. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan esensi penghentian penuntutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja Penghentian Penuntutan) yang dilaksanakan atas dasar penyelesaian perkara yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai kewenangan Jaksa dalam menghentikan penuntutan perkara pidana atas dasar keadilan restoratif, mekanisme penghentian penuntutan perkara pidana atas dasar keadilan restoratif dan faktor penghambat dalam pelaksanaan penghentian penuntutan perkara pidana atas dasar keadilan restoratif. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis dengan mendasar pada data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka dan studi lapangan serta dilakukan pengolahan data dengan cara evaluasi data, klasifikasi data dan sistematisasi data kemudian dianalisis menggunakan analisis kualitatif sebagai dasar pengambilan simpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan Jaksa dalam menghentikan penuntutan atas suatu perkara pidana dengan mendasar pada Perja Penghentian Penuntutan merupakan bentuk kewenangan atribusi. Adapun mekanisme penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah diterimanya penyerahan tanggungjawab atas Tersangka dan barang bukti dari penyidik yang terdiri dari beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Perja Penghentian Penuntutan. Hambatan yang paling dominan dalam proses penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif adalah faktor peraturan perundang-undangan yaitu singkatnya jangka waktu dalam Perja Penghentian Penuntutan tidak sebanding dengan panjangnya mekanisme yang harus ditempuh serta faktor kebudayaan yaitu rendahnya kesadaran atas budaya memafkan oleh Korban terhadap Tersangka yang berdampak pada tidak dapat dilaksanakannya proses perdamaian. Saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk memasukkan kewenangan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Selanjutnya disarankan kepada Jaksa Agung RI untuk mendorong pelaksanaan percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Disamping itu, disarankan juga kepada Jaksa Agung RI agar dapat meninjau kembali singkatnya jangka waktu proses penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang diatur dalam Perja Penghentian Penuntutan guna menunjang optimalisasi proses tersebut. Kata Kunci : Kewenangan, Jaksa, Penghentian Penuntutan, Keadilan Restoratif
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum Pascasarjana > Magister Ilmu Hukum |
Depositing User: | Pustakawan 1 UNISSULA |
Date Deposited: | 10 Jan 2023 04:17 |
Last Modified: | 10 Jan 2023 04:17 |
URI: | http://repository.unissula.ac.id/id/eprint/26275 |
Actions (login required)
View Item |