REKONSTRUKSI REGULASI PERJANJIAN KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI BERBASIS NILAI KEADILAN PANCASILA

Sagala, Elviana (2023) REKONSTRUKSI REGULASI PERJANJIAN KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI BERBASIS NILAI KEADILAN PANCASILA. Doctoral thesis, UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG.

[img] Text
10302000366.pdf

Download (2MB)
[img] Text
Publikasi ELVIANA SAGALA.pdf
Restricted to Registered users only

Download (2MB)

Abstract

Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu semua peristiwa dan perbuatan hukum di atur dalam aturan yang ditetapkan oleh Negara Indonesia dalam penyelesaiannya. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dapat dilaksanakan apabila memenuhi rukun dan syarat-syarat berdasarkan Perundang-Undangan di Indonesia dan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Dalam hal pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, diatur sedemikian rupa sehingga harta yang di dapat sebelum perkawinan yang disebut harta bawaan, adalah harta yang terpisah dari harta yang diperoleh selama perkawinan. Harta yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama, harta selama ikatan perkawinan bukan merupakan harta bersama apabila diperjanjikan pisah harta sebelum atau pada saat perkawinan sibuat perjanjian kawin. Akan tetapi timbul masalah dengan harta perkawinan dimaana warga Negara Indonesia menikah dengan warga Negara asing dan tidak membuat perjanjian kawin pisah harta maka WNI tersebut tidak dapat memiliki tanah dan bangunan di Indonesia, karena syarat untuk itu harus lah warga Negara Indonesia. Karena Tanah memiliki hubungan abadi dengan tanah dan tidak dapat di berikan kepada warga Negara lain. Oleh karena itu keluarlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang perjanjian kawin. Sehingga penafsiran dari putusan tersebut perjanjian kawin dapat dibuat sebelum, pada saat dan selama dalam ikatan perkawinan. Tentu hal ini menjadi masalah dalam beberapa hal termasuk pembatasan harta yang boleh diperjanjikan , status harta sebelum dan sesudah perjanjian, dan juga hubungan hukum terhadap pihak ketiga. Sehingga tujuan penelitian ini adalah Untuk menganalisis dan menemukan Regulasi Perjanjian Perkawinan paska Putusan Mahkamah Konstitusi belum berbasis nilai keadilan Pancasila, Untuk menganalisis dan menemukan kelemahan-kelamahan Regulasi Perjanjian Kawin paska Putusan mahkamah Konstitusi dan Untuk menemukan Rekonstruksi Regulasi Perjanjian Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Berbasis Nilai Keadilan Pancasila. . Metode pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah social legal research. Penelitian ini menggunakan jenis data primer dan data skunder. Tekhnik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, dan juga wawancara. Teori hukum digunakan sebagai pisau analisis yaitu grand theory keadilan pancasila, middle theory teori sistem hukum, dan applied teory progresif dan perlindungan hukum. Hasil penelitian menemukan 1. bahwa Regulasi Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Belum Berbasis Nilai Keadilan Pancasila, disebabkan karena Regulasi Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Berbasis Nilai Keadilan Pancasila, hanya memiliki makna dengan adanya kata “sepanjang tidak dimaknai” tentu hal ini tidak akan terulang lagi dalam putusan MK, karena putusan MK bersifat mengikat yang berarti berlaku untuk semua, maka yang berat dalam hal ini adalah Notaris, karena pembuat akta perjanjian yang autentik tentulah Notaris, prinsip kehati-hatian tentu harus diperketat dan didalam akta harus menambahkan nahwa akta tersebut harus di mintakan Penetapan di Pengadilan dan Pengadilanlah yang menetapkan harus di daftarkan ke Kantor Urusan Agama Untuk yang beragama Islam dan Dinas Kependudukan dan catatan Sipil untuk selain yang beragama Islam barulah Perjanjian tersebut sah. Pasal 29 ayat 1,2,3 dan 4 karena tidak memiliki pertimbangan yang maksimal, karena hanya memutuskan melihat alasan pemohon dan tidak melihat aturan undang-undang lain yang menimbulkan akibat hukum karena keputusan tersebut. Bila dari sudut pandang alasan hanya melihat pada dasar peermohonan yaitu Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1,2 dan 4) UUP, serta Pasal 21 ayat (1 dan 3) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA maka keputusan itu adalah cukup melindungi pemohon yang permasalahannya adalah karena menikah dengan warga Negara Jepang dan tidak membuat perjanjian kawin. 2. Kelemahan-Kelemahan Regulasi Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Saat ini, yakni adanya kelemahan pada subsatnsi hukum, strukstur hukum dan kultur hukum. Secara hukum, Ada lima unsur penting dalam makna Pasal 29 ayat (1) tersebut, yaitu: (1) perjanjian dibuat selama masa perkawinan; (2) persetujuan bersama; (3) dibuat secara tertulis; (4) disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris; dan (5) berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Walaupun Putusan MK 69/2015 tersebut dimohonkan oleh WNI yang menikah dengan WNA (perkawinan campuran), namun Putusan MK tersebut berlaku pula bagi pasangan menikah sesama WNI. Secara struktur hukum perlu dicatat bahwa Perjanjian Pasca Perkawinan tersebut tetap harus dibuat di hadapan notaris setelah itu perjanjian kawin didaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan yang beragama Islam atau Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi pasangan yang bukan beragama Islam. Langkah ini terutama diperlukan agar perjanjian kawin yang dibuat mengikat bagi pihak ketiga. Dengan adanya pendaftaran pada instansi yang telah ditentukan, unsur publisitas telah terpenuhi sehingga mengikat pula bagi pihak ketiga. Jika tidak didaftarkan, perjanjian itu hanya akan mengikat suami-istri sebagai para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1313-1314 dan 1340 KUHPerdata. Seacar Kultur Hukum, Perjanjian Kawin dalam Kultur Hukum, dikalangan masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan tradisi juga fanatic, tidak akan mau membuat perjanjian kawin. Karena perjanjian kawin bagi kebanyakan masyarakat beranggapan itu untuk kalangan orang berduit, punya harta yang banyak dan takut bercerai.Bagi masyarakat kebanyakan beranggapan perjanjian kawin akan membuat jarak dan keegoisan, sedangkan untuk menyatukan dua keluarga saja begitu sulitnya apalagi kalau dibuat perjanjian kawin maka aka nada jarak antara keluarga. Karena masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat dan fanatik menjadikan perkawinan adalah menambah keluarga agar menjadi besar dan kekerabatan pun akan semakin luas. 3. Rekonstruksi Regulasi Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Berbasis Nilai Keadilan Pancasila, nilai-nilai keadilan Pancasila dalam rekonstruksi regulasi perjanjian kawin pasca putusan Mahkamah Konstitusi adalah memberikan persamaan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Persamaan tersebut memberikan perwujudan adil dengan seadil adilnya kepada warga negara untuk mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum yang sama tersebut mencerminkan perlindungan hukum untuk diperlakukan sama dihadapan hukum bagi seluruh warga negara guna mewujudkan suatu keadilan. Adanya pembatasan waktu dalam perjanjian kawin, melalui akta otentik, tidak merugikan para pihak dan pihak ketiga ,serta disahkan oleh pejabat public dan Lembaga pengadilan. Rekonstruksi Norma hukum Pasal 29 ayat 1, ayat 3 dan ayat 4 , Pasal 35 ayat 1 & 2 , serta Pasal 38 UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengalami perubahan makna yaitu sebelum, pada saat dan selama ikatan perkawinan dapat di laksanakan perjanjian kawin . Kata kunci: perjanjian, kawin, mahkamah, konstitusi

Item Type: Thesis (Doctoral)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Pascasarjana
Pascasarjana > Program Doktor Ilmu Hukum
Depositing User: Pustakawan 3 UNISSULA
Date Deposited: 14 Sep 2023 01:35
Last Modified: 14 Sep 2023 01:35
URI: http://repository.unissula.ac.id/id/eprint/30966

Actions (login required)

View Item View Item